Sejak berabad-abad lalu, orang Jawa memang bekerja dari pagi hingga siang, namun dengan ritme dan tempo mereka sendiri.
"Kalau kerja hari ini tidak selesai, ya dilanjutkan besok saja." Toh, hasil panen mau dikerjakan buru-buru atau santai, hasilnya tetap saja sama.
Meski begitu, hasil pekerjaan pribumi Jawa tetap tidak buruk.
BACA JUGA:Viral! Sekelompok Pelajar Digrebek Satpol PP Lagi Berbuat Mesum di Rumah Kosong
Nrimo ing pandum adalah istilah yang sudah tidak asing di telinga orang Jawa.
Meskipun istilah tersebut populer di kalangan masyarakat, sering kali ada kesalahpahaman mengenai maknanya.
Banyak orang yang keliru dalam memahami dan menggunakan istilah ini.
Nrimo ing pandum sering dimaknai sebagai sekadar menerima dan pasrah sepenuhnya terhadap situasi atau musibah yang dialami (Cahyarini, 2021).
BACA JUGA:Resmi Cerai Dari Cathrine Wilson, Idham Masse Ajukan Banding Terkait Hal Ini
Seringkali, filosofi ini disalahartikan sebagai ajakan untuk ikhlas, lapang dada, dan menyerah tanpa usaha.
Kesalahpahaman terhadap filosofi tersebut menimbulkan kesan bahwa ketika orang Jawa menghadapi cobaan atau tantangan, mereka cenderung pasif dan pasrah.
Pengertian nrimo tidak sepenuhnya salah, hanya saja kurang lengkap.
Jika ditelusuri lebih lanjut, istilah nrimo ing pandum dalam wejangan sebenarnya diikuti oleh kalimat makaryo ing nyoto (bekerja secara nyata).
BACA JUGA:Resmi Cerai Dari Cathrine Wilson, Idham Masse Ajukan Banding Terkait Hal Ini
Jadi, sebelum menerapkan nrimo ing pandum, harus ada ikhtiar yang dilakukan terlebih dahulu, sikap berserah diri diterapkan setelah usaha tersebut dilakukan.
Konsep nrimo dapat direkonstruksi menjadi lebih positif, hasil penelitian menunjukkan bahwa nrimo dipahami sebagai karakter afektif yang mengatur seseorang untuk tetap tenang dalam menerima kenyataan hidup yang tidak diinginkan.